Pendahuluan
Tanggal 25 September 2015 menjadi hari yang cukup kelam bagi pemegang saham BRPT. Hari itu saham BRPT menyentuh angka Rp120 per lembar. Padahal beberapa tahun sebelumnya harga saham mencapai 1400-an per lembar. Jika ada seorang pemegang saham membeli saham di harga 1400-an lalu setelah beberapa tahun memegang saham dia menjualnya pada tanggal 25 September 2015 di harga Rp120, maka orang tersebut menderita kerugian lebih dari 90%. Kasihan ya….
Bagaimana kalau skenarionya dibalik, ada seseorang yang dengan penuh keberanian membeli saham BRPT di harga Rp120 pada tanggal 25 September 2015. Setelah beberapa tahun, berapa harga saham BRPT. Apakah kembali ke harga 1400 an? Sejarah mencatat harga tertinggi BRPT setelah tahun 2015 ada di harga 1500-an pada tahun 2019. Tapi harga 1500-an di tahun 2019 berbeda dengan harga 1400-an di tahun 2015. Kenapa? Karena dalam kurun waktu 2017-2019 BRPT melakukan stock split atau pemecahan saham 2 kali, pertama 1:2 lalu 1:5. Dengan kata lain harga saham 1500-an di 2019 sama dengan harga 15000-an di tahun 2015. Jadi, orang yang membeli di harga 120 pada tahun 2015 lalu menjualnya tahun 2019 di harga 1500-an akan mendapat untung 125 kali lipat. Dahsyat bukan…
Kalau kita tahu bahwa BRPT akan menghasilkan keuntungan 100 kali lipat lebih, tentu kita tidak akan ragu membeli saham BRPT dengan semua uang yang dimiliki. Masalahnya di tahun 2015 tersebut kondisinya sangat tidak kondusif, atau bisa dikatakan BRPT sedang mengalami krisis. Di saat krisis, dengan banyaknya orang yang berpandangan masa depan BRPT suram, apakah kita akan berani membelinya?
Tulisan ini akan membedah kondisi BRPT dan pasar saham saat harga saham berada di titik nadir Rp120. Bagaimana kondisi sebenarnya saat itu. Apakah BRPT memang benar-benar akan kolaps. Atau sebenarnya kita dapat menilai bahwa krisis BRPT saat itu hanya bersifat sementara.