Ada 2 orang investor yang berteman baik, namanya Buli dan Beri. Suatu hari mereka ngopi bareng sambil berbincang tentang saham.
Beri bercerita tentang salah satu saham perusahaan properti. Perusahaan ini aset cadangan lahannya banyak, tapi sahamnya dijual sangat murah dibanding nilai aset. Dia berkata nilai buku perusahaan 1000 rupiah per lembar saham, sedang sahamnya hanya berharga 300 rupiah saja. Beri berniat ingin membeli.
Namun Buli menyarankan untuk menjauhi. “Buat apa beli saham murah tapi industrinya lagi gak bagus. Sekarang lagi susah jual properti”. Lalu Buli menyarankan Beri untuk membeli salah satu saham perusahaan teknologi yang sedang tren. “Beli yang ini saja, potensinya bagus banget”, begitu kata Buli.
Beri tertarik mendengarnya. Dia pun membuka aplikasi RTI untuk mengetahui berapa nilai aset perusahaan teknologi tersebut. Bagitu tahu dia terkejut. Harga sahamnya 300 rupiah, tapi nilai bukunya hanya 30 rupiah saja per lembar saham.
“Mahal sekali saham ini Bul, harga sahamnya 10x nilai aset”
Buli menjawab, “jangan lihat itunya Ber, lihat potensinya dong. Sekarang jamannya teknologi, apa-apa pakai aplikasi.”
Beri lebih melihat aset perusahaan ketika membeli saham. Sementara Buli lebih melihat potensinya, tidak masalah kalau harga saham sekian kali lipat dari nilai aset.
Bagaimana dengan pembaca? Tipe investor seperti apa. Seperti Beri atau seperti Buli.
Kalau penulis seperti Beri. Lebih suka membeli saham karena asetnya. Saham properti mungkin sedang suram. Sulit untuk menjual properti di masa sekarang ini. Tapi itu tidak akan berlangsung selamanya khan. Ada waktunya ekonomi membaik, dan orang-orang mulai membeli properti kembali.
Ketika hal itu terjadi, pendapatan perusahaan akan naik, laba pun akan naik. Pasar akan mengapresiasi kenaikan tersebut dengan kenaikan harga saham. Harga saham yang tadinya 300 rupiah mungkin akan naik jadi 1000 rupiah, sama dengan nilai asetnya. Atau mungkin lebih tinggi lagi, karena saham properti dibeli oleh orang-orang seperti Buli. Membeli saham properti karena potensinya sedang bagus, tidak peduli harga saham sudah diatas nilai aset.
Investor seperti Beri, pada dasarnya menggunakan prinsip crisis investing ketika membeli saham properti. Beli ketika kondisi perusahaan sedang tidak baik, harga saham jauh dibawah nilai aset. Lalu tunggu sampai keadaan membaik, pendapatan meningkat, laba meningkat. Harga saham akan terbang tinggi sekian kali lipat dari harga beli.